31 Dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah shalat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, 32yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka. {QS. Ar-Rum (30): 31-32 }
Teodisi.com : Tahukah anda bahwa Allah itu adalah Tuhan yang Pencemburu. Dia sangat murka kepada hamba-hamba-Nya yang mencintai ilah-ilah (tuan-tuan) yang lain. Dia sangat marah bila hamba-hamba-Nya memiliki sesuatu yang dicintai dan dipatuhi selain kepada-Nya. Namun demikian, berapa banyak manusia yang mencintai musuh-musuh (tandingan-tandingan) Allah seperti mereka mencintai-Nya. Ketika anda memiliki kecintaan kepada sesuatu melebihi atau menyamai cinta anda kepada-Nya, maka anda masih berada dalam kemusyrikan.
Sahabatku ...
Pada renungan awal ini, penulis ingin mengajak anda untuk membicarakan satu hal yang sangat penting dalam kehidupan ini, namun seringkali tidak disadari atau dihiraukan oleh manusia. Padahal, jika persoalan ini mampu dipahami dengan benar esensi dan prakteknya, maka sesungguhnya kehidupan ummat manusia saat ini akan damai dan sejahtera, baik secara moral sprituil maupun fisik materiil. Apakah persoalan yang amat penting dan dasar tersebut? Persoalan tentang kemusyrikan. Apa sesungguhnya musyrik itu?
Baca Juga: Ujian Itu Sahabat Orang Beriman
Dalam tradisi dan doktrin agamis, kata “musyrik” itu dimaknai dengan menduakan atau mempersekutukan Allah. Bentuk dari kemusyrikan itu seperti; menyembah tau menuahkan sesuatu (misalnya, pohon besar, patung, batu, kuburan, keris, dan semacamnya), meminta pertolonngan kepada dukun (orang “pintar”), mempercayai khurafat, dan semacam-nya. Itulah bentuk-bentuk kemusyrikan yang diajarkan dalam tradisi dan doktirn agamis.
Jika anda ingin merenungi semua aktivitas kemusyrikan yang disebutkan diatas, sesungguhnya aktivitas-aktivitas tersebut hanya akan dilakukan oleh orang-orang bodoh, penakut, dan tidak memiliki kepercayaan diri untuk menghadapi kehidupan ini. Aktivitas-aktivitas tersebut sesungguhnya tidak ada kaitannya secara langsung kepada Allah yang hak untuk diabdi, yakni ditaati segala kehendak dan perintah-Nya. Tanpa menggunakan dasar wahyu firman Allah pun, Aktivitas-aktivitas tersebut adalah sesuatu yang tidak diterima oleh akal sehat.
Sehingga seluruh aktivitas yang dikategorikan perbuatan syirik di atas dalam tradisi dan doktrin agamis adalah kebodohan sosial spiritual belaka yang tidak membuat Allah cemburu dan marah, atau masih berupa kemusyrikan kecil semata. Sedangkan kemusyrikan yang sesungguhnya akan membuat dia cemburu dan marah besar, karena kemusyrikan itu adalah kezaliman yang amat besar. Wajar jika Allah mengingatkan secara tegas mengenai kemusyriakn ini. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa ayat Al-Quran. Misalnya dalam surat Al-An’am (6) ayat 88:
Itulah petunjuk Allah, yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hambaNya. seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.
Al-Quran surat An-Nisa (4) ayat 36:
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.
Al-Quran surat Al-Maidah (5) ayat 72:
Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah ialah Al Masih putera Maryam", padahal Al Masih (sendiri) berkata: "Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu." Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun.
Al-Quran surat Al-An’am (6) ayat 151:
Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar." Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).
Baca Juga: Menjadi Saksi-Saksi Allah
Begitulah pula wasiat luqman kepada anaknya, untuk menjauhi kemusyrikan yang diabadikan dalam surat Luqman (31) ayat 13 berikut ini:
Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar."
Kemusyrikan adalah kezaliman yang besar (dosa besar), sehingga Allah sendiri tidak akan mengampuni dosa syirik seseorang hingga dia kembali bertauhid hanya kepada-Nya.
Penegasan ini difirmankan dalam surat An-Nisa (4) ayat 48 dan 116 berikut ini:
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.
Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.
Baca Juga: Islam Bukan Agama
Dari beberapa ayat di atas semakin meyakinkan kita bahwa, dia amat benci kepada hamba-hamba-Nya yang berlaku syirik (musyrik). Lalu apa sesungguhnya wujud dari kemusyrikan itu?
Secara bahasa, ‘’musyrik’’ berarti orang yang mensyarikati; mempersekutukan; menandingi atau; menduakan Allah. Dengan demikian, orang tersebut meyakini atau menempatkan sesuatu atau seseorang sebagai sekutu atau tandingan Allah. Bagaimana mungkin Allah Yang Maha Segalanya dapat ditandingi oleh selain Dia?
Untuk menjawabnya, kita harus mengakaji ualng kedudukan Allah bagi alam semesta termasuk bagi manusia. Suarat Al-Fatiha (1) sebagai pembuka dan surat An-Nas (114) sebagai penutup Al-Quran menjelaskan hal tersebut. Setidaknya Allah menjelaskan kedudukan diri-Nya dalam tiga hal.
Pertama: kedudukan Allah sebagai Rabb, baik bagi alam semesta maupun bagi ummat manusia. Yang dimaksud Allah sebagai Rabb adalah dia sebagai Sang Pencipta, Pengatur dan Pendidik alam semesta dengan sifat Rahman dan Rahim-Nya. Sebagai Rabb, Allah tidak pernah berhenti menjalankan tugasnya dalam mencipta, mengatur, dan mendidik alam semesta, termasuk manusia didalamnya. Dia mencipta dan mengatur segala ciptaannya menurut sistem hukum yang telah diciptakan-Nya. Dia terlebih dahulu mencipta sistem hukum (Din)-Nya sebelum Dia mencipta alam semesta dan ummat manusia. Sehingga tatkala alam semesta dicipta, mereka tunduk patuh (berserah diri) kepada sistem hukum yang telah diundangkan oleh-Nya kepada masing-masing ciptaan (makhluk), tidak terkecuali manusia. Inilah fitrah penciptaan bagi setiap makhluk di alam semesta.
Perhatikan surat Al-An’am (6) ayat 164:
Katakanlah: "Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, padahal Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu. Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan."
Berbeda dengan makhluk lainnya di alam ini, manusia dengan akal pikirannya diberi kebebasan oleh Allah dalam menentukan sikap pengabdiannya, apakah mereka ingin menjadi hamba yang iman dan patuh (mu’min) atau menjadi hamba yang kafir zalim (musyrik). Tetntu saja setiap pilihan sikap tersebut memiliki proses dan konsekuensi tersendiri.
Berbicara kedudukan Allah sebagai Rabb, maka berbicara tentang “Rububiyah” atau aturan hukum Allah. Satu unsur utama dari Din (sistem hukum Allah) tentang hidup dan kehidupan adalah hukum dan Undang-Undang Allah, baik yang tidak tertulis (hukum-hukum pada alam) maupun yang tertulis (hukum-hukum pada Al-Kitab). Tentu saja, kumpulan hukum-hukum Allah yang tertulis dalam Al-Kitab (Taurat, injil dan Al-Quran) adalah hukum yang harus ditegakkan dan dilaksanakan dalam kehidupan ummat manusia. Hukum Allah harus menjadi hukum positif. Lalu apa hubungannya dengan kemusyrikan?
Baca Juga : Apakah Shirathal Mustaqim Itu?
Ketika ummat manusia atau suatu Negara bangsa tidak menjadikan Hukum Allah sebagai undang-undang atau hukum positif, dan mengambil hukum negara-negara bangsa penjajah/penguasa yang merupakan produk dari pemikiran dan syahwat manusia sebagai undang-undang atau hukum posistif, maka sesungguhnya mereka atau bangsa itu adalah manusia atau bangsa yang musyrik. Mereka telah melakukan perbuatan syirik rububiyah. Mereka telah meyakini, menempatkan, dan menjalankan hukum penguasa bangsa (thagut) di samping hukum Allah yang fitrah dan yang hak untuk ditegakkan. Ingat, kebenaran sejati hanyalah berasal dari Allah, sehinga hukum di luar hukum Dia adalah batil. Oleh karenanya siapa pun yang memutuskan suatu perkara bukan menurut hukum Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir, zalim, dan fasiq. Perhatikan surat Al-Maidah (5) ayat 44,45 dan 47 berikut ini:
Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.
Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.
Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil, memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah didalamnya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.
Hukum atau undang-undang Allah adalah bersifat universal dan tidak pernah berubah. Hukum Allah berlaku bagi segenap ummat manusia tanpa melihat tempat dan waktu. Hukum Allah adalah sesuatu yang fitrah bagi kehidupan ummat manusia tanpa melihat suku, bangsa, warna kulit, dan bahasa. Sangat berbeda dengan hukum negara-negara bangsa atau hukum hasil konsensus manusia yang sarat dengan kepentingan pribadi, kelompok, golongan atau penguasa / penjajah. Hukum buatan manusia hanya bersifat parsial, sesaat, dan berpihak pada mereka yang berkuasa dan berduit.
Baca Juga: Sejak Kapan Anda Beriman ?
Hukum atau Undang-Undang dari suatu negara bangsa hanya untuk kepentingan pribadi bangsanya atau sekelompok/segolongan dari bangsa tersebut. Hukum bangsa-bangsa kafir musyrik tidak akan mampu memberi keadilan, kedamaian, dan kesejahteraan sejati bagi seluruh rakyatnya. Akhirnya, masing-masing bangsa atau negara merasa bangga dengan bangsa atau negaranya masing-masing; tiap-tiap partai dari suatu negara merasa bangga dengan partainya; tiap-tiap golongan atau kelompok pun merasa bangga dengan golongan atau kelompoknya; bahkan tiap-tiap agama atau mazhab juga merasa bangga dengan agama dan mazhabnya masing-masing. Kehidupan dunia model seperti inilah yang merupakan buah dari ideologi musyrik; ideologi yang memuja pluralisme; kehidupan yang anti-tauhid. Inilah bentuk kehidupan musyrik yang penuh dengan kekufuran, kezaliman, dan kefasiqan. Kalaupun ada dari mereka yanag ingin menggunakan hukum Allah, mereka hanya mengambil sebagian dan menafikan sebagian lainnya.
Model kehidupan berbangsa dan bernegara (dimana salah satu unsur dasarnya adalah Undang-Undang) yang dibangun oleh sistem pluralis yang berpartai-partai atau bergolong-golongan saat ini sesungguhya adalah bentuk dari kemusyrikan itu sendiri. Silahkan anda renungkan kembali firman Allah tentang bentuk kemusyriakn di atas dalam surat Ar-Rum (30) ayat 30-31 berikut ini :
30 Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. 31 Dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah shalat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, 32 yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.
Sekarang lihat sekeliling anda, jika anda hidup dalam lingkungan demikian, berarti anda sedang hidup dalam kehidupan musryik. Jika anda meyakini dan menjalani model kehidupan seperti diatas, berarti anda sedang berbuat syirik atau menjadi seorang musryik, suatu dosa yang tidak dapat diampuni oleh Allah. Selain itu, semua pengabdian atau amal ibadah yang diperbuatnya tidak akan bernilai disisi Allah. Dimata Dia, orang-orang yang musryik itu adalah orang-orang yang tidak akan pernah diterima oleh-Nya. Perhatikan firman Allah dalam Al-Quran surat At-tawbah (9) ayat 28 berikut ini :
Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis.
Sekali lagi, orang-orang musryik itu najis di hadapan Allah. Tentu saja najis yang dimaksud bukanlah najis secara fisik yang sering dibahas dalam mazhab fiqih, akan tetapi najis secara spiritual (aqidah). Mereka memiliki kesadaran dan keyakinan (ideologi) musryik (batil) yang dijadikan landasan dalam berbangsa bernegara, khususnya dalam menjalankan hukum dan undang-undang (musryik rububiyah).
Kedua, kedudukan Allah sebagai malik (Raja atau Penguasa). Dia adalah raja alam semesta, Raja Hari Kemudian (maliki yawm ad-din), dan Raja umat manusia (malik an-nas).
Allah adalah Rabb al-alamin (Rabb alam semesta) sehingga Dia pun menjadi Raja Alam semesta. Kerajaan-Nya meliputi langit dan bumi beserta segala makhluk yang ada di antara keduanya. Itulah wilayah kekuasaan Allah, termasuk bumi dimana manusia berdiam dan beraktivitas. Sangatlah logis jika seluruh makhluk yang ada dalam kerajaan-Nya tunduk patuh (aslama) kepada kekuasaan-Nya, yakni tunduk patuh pada atauran hukum dan undang-undang Allah. Dialah sang pemilik tunggal yang sejati dari seluruh kekayaan yang ada di alam ini. Dia tidak memiliki sekutu dalam menguasai kerajaan-Nya. Perhatikan firman-Nya dalam surat Al-Isra (17) ayat 111:
Dan katakanlah: "Segala puji bagi Allah Yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan Dia bukan pula hina yang memerlukan penolong dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya.
Perhatikan pula surat Al-Furqan (25) ayat 2 :
Yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan(Nya), dan dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.
Tidak boleh ada satupun makhluk yang menjadi pemilik atau raja dari makhluk lainnya. Semua makhluk (termasuk manusia) harus tunduk pada kekuasaan sang pemilik, Raja langit dan Bumi. Ketika seluruh makhluk di alam semesta dan umat manusia hidup sesuai dengan apa yang menjadi titah kehendakn-Nya, maka kehidupan alam semesta dan alam sosial manusia akan dipenuhi keberkahan, yakni kehidupan yang harmonis, adil, damai, dan sejahtera. Yakni kehidupan jannah, kehidupan surgawi yang diidamkan oleh semua manusia berakal dan beriman. Langit dan bumi beserta isinya akan menjadi sumber berkat bagi kehidupan ummat manusia, penegasan ini dapat dilihat dalam surat Al-A’raf (7) ayat 96 berikut ini:
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.
Kehidupan jannah penuh berkat tersebut akan berubah menjadi kehidupan neraka yang penuh dengan kutuk (gadhab) Allah manakala manusia tidak beriman atau berlaku syirik kepada kekuasaan-Nya.
Dalam sistem hukum (Din) Allah yang murni, unsur utama yang harus ada untuk dapat menegakkan hukum dan Undang-Undang Allah adalah aparat penguasa (Khilafah) yang akan menjadi penegak dari Din Allah. Hukum dan Undang-Undang Allah (sistem rububiyah) tidak dapat ditegakkan dalam kehidupan manusia manakala tidak ada penguasa atau pemerintah (penegak hukum). Karena hukum dan undang-undang yang ditegakkan adalah dari Allah, maka kekuasaan (Khilafah) yang akan menegakkan rububiyah Allah pun harus berasal dari Allah. Khilafah Allah (Kerajaan Allah) yang dipimpin oleh seorang Rasul dan selanjutnya dipegang oleh seorang.
Khalifah Rasul (Pengganti Rasul) adalah anugerah langsung dari-Nya, bukan pemberian dari penguasa bangsa-bangsa dunia. Jadi, seorang khalifah dalam Din al-Islam hakikatnya adalah pengganti atau wakil Allah dalam menjalankan kekuasaan-Nya di muka bumi, dalam mengatur sistem kehidupan ummat manusia agar tetap berjalan dengan harmonis, adil, damai, dan sejahtera, seperti pada kehidupan makhluk lainnya di alam semesta sebagai bagian dari Kerajaan Allah. Sekali lagi, rububiyah (hukum dan undang-undang) Allah tidak akan pernah tegak tanpa adanya mulkiyah (kekuasaan;penguasa) dari Allah. Dengan demikian, adanya khilafah dalam Din al-Islam adalah sesuatu yang wajib (mutlak) adanya. Tanpa adanya khalifah (pemimpin penguasa) dari kerajaan Allah di dunia, maka ummat manusia akan hidup dan tunduk pada kekuasaan tirani zalim (thagut). Inilah yang disebut dengan musryik mulkiyah; syirik terhadap Kekuasaan (Kerajaan) Allah, khususnya dalam kehidupan manusia (berbangsa dan bernegara).
Para penguasa dari negara-negara bangsa (raja atau presiden) di muka bumi telah menjadi tandingan (andad) Allah dalam mengatur dan menguasai manusia. Di pihak lain, ummat manusia telah memilih dan menjadikan para raja dan presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas negara dan bangsa masing-masing, sama seperti Firaun di zaman nabi Musa as. Inilah wujud dari kemusyrikan. Hukum dan undan-undang yang mereka buat didasari oleh ideologi yang musryik dan para pemimpin yang mereka pilih pun dari sitem kekuasaan (politik) yang musryik. Wajar jika keharmonisan, keadilan, kedamaian, dan kesejahteraan sejati nan merata bagi semua lapisan rakyat dan alam sekitarnya tak kunjung nyata. Semuanya hanya menjadi impian dan janji-janji politik kosong dari para penguasa atau calon penguasa.
Ketiga, kedudukan Allah sebagai Al-Ma’bud atau Ilah bagi manusia (ilah an-nas) dalam surat Al-Fatiha (1) ayat 5 dikatakan, ‘‘Hanya kepada-Mu kami mengabdi dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan’’
Secara bahasa kata ‘’al-Ma’bud’’ berarti ‘’Yang diabdi’’; Yang ditaati; Yang dipatuhi’’. Sedangkan kata ‘’Ilah’’ berarti tuhan atau tuan, yakni sesuatu yang dicintai; sesuatu yang dikagumi; atau sesuatu yang ditaati keinginannya. Sehingga dalam hidup dan kehidupan ini, ada banyak hal yang dapat menjadi ‘’ilah’’ atau tuan bagi manusia di samping Allah, Tuhan YME, temasuk ber-ilah (tuan) kepada hawa nafsu pribadinya. Manusia menjadi budak dari keinginan nafsu pribadinya. Perhatikan, misalnya pernyataan Al-Quran surat Al-Furqan (25) ayat 43-44 berikut ini:
43Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya. Maka Apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?, 44 Atau Apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).
Perhatikan pula surat Al-Jatsiyah (45) ayat 23:
Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?
Namun demikian, yang berhak untuk ditaati segala kehendak perintah-Nya oleh manusia hanyalah kehendak dan perintah Allah, Tuhan Semesta Alam (La ilaha illa Allah). Inilah yang juga disebut tauhid uluhiyah. Jika dalam kehidupan ini, anda masih memiliki kecintaan yang melebihi kecintaan anda kepada Allah dan Rasul-Nya, anda memiliki keinginan selain keinginan yang diridai oleh-Nya, anda memiliki ketaatan selain kepada kekuasaan-Nya, maka berarti anda telah melakukan kemusryikan, musryik uluhiyah.
Hubungan antara Allah dengan manusia adalah hubungan antara ‘’Yang diabdi’’ (ilah atau Al-Ma’bud) dengan ‘’yang mengabdi’’ (hamba atau budak). Sebagai hamba, maka sudah sepantasnya manusia hanya mengabdi (taat) pada pengabdian tunggal, yakni hanya kepada Sang Tuan Yang Esa. Dia Yang mencipta, mengatur, dan menguasai alam semesta. Inilah fitrah hidup dari manusia yang telah menyadari hakikat dirinya sebagai hamba. Bahkan dalam setiap misi dakwah para Rasul Allah, mereka selalu mengajak dan mengingatkan manusia untuk kembali kepada garis fitrahnya tersebut, yakni menjadi hamba yang menegakkan tauhid uluhiyah. Perhatikan Al-Quran surat Al-Anbiya (21) ayat 25 berikut ini:
Dan Kami tidak mengutus seorang Rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, Maka sembahlah olehmu sekalian akan aku".
Jika sebelumnya sudah dijelaskan tentang dua unsur utama dari sistem hukum Allah (Din Al-Islam) – yakni unsur rububiyah (hukum dan undang-undang) dan unsur mulkiyah (penguasa;pemerintah;penegak hukum), maka unsur ketiga yang harus ada dalam menegakkan Din al-Islam secara totalitas (kaffah) adalah unsur uluhiyah, yakni masyarakat atau warga atau ummat yang siap tunduk patuh taat kepada hukum dan undang-undang Allah yang dikawal oleh penguasa (pemerintah). Dengan demikian, tiga unsur utama yang harus ada dalam penegakan Din al-islam secara sempurna adalah: 1) Hukum atau undang-undang Allah; 2) Khalifah Allah (penguasa atau pemerintah); dan 3) Rakyat atau ummat yang akan mematuhi hukum atau undang-undang Allah. Di samping tiga unsur tersebut, satu unsur pelengkap yang juga harus ada adalah wilayah hukum atau wilayah kekuasaan dari Khilafah Allah tersebut (Darussalam atau Madinah).
Bagaimanapun juga, manusia harus berfungsi sesuai dengan keinginan dari sang Penciptanya. Ketika manusia berfungsi di luar yang diinginkan oleh Sang Pencipta, maka dia telah menjadi makhluk yang batil atau musryik, menjadi makhluk yang dikehendaki oleh keinginan ‘’ilah’’ yang lain selain Allah. Tauhid uluhiyah menghendaki adanya ketaatan (pengabdian) tunggal hanya kepada-Nya. Inilah yang juga selalu diingatkan oleh para Nabi dan Rasul Allah. Hal ini dapat dilihat dari beberapa firman Allah berikut ini:
Al-Quran surat Al-Baqarah (2) ayat 133:
Adakah kamu hadir ketika Ya'qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: "Apa yang kamu sembah sepeninggalku?" mereka menjawab: "Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan yang Maha Esa dan Kami hanya tunduk patuh kepada-Nya".
Al-Quran surat An-Nisa (4) ayat 36:
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh[294], dan teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri,
Al-Quran surat Al-A’raf (7) ayat 59:
Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata: "Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya." Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat).
Al-quran surat Al-A’raf (7) ayat 73:
Dan (kami telah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka shaleh. ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang bukti yang nyata kepadamu dari Tuhammu. unta betina Allah ini menjadi tanda bagimu, Maka biarkanlah Dia Makan di bumi Allah, dan janganlah kamu mengganggunya dengan gangguan apapun, (yang karenanya) kamu akan ditimpa siksaan yang pedih."
Al-Quran surat Al-Ankabut (29) ayat 16:
Dan (ingatlah) Ibrahim, ketika ia berkata kepada kaumnya: "Sembahlah olehmu Allah dan bertakwalah kepada-Nya. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.
Al-Quran surat Az-Zumar (39) ayat 11:
Katakanlah: "Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) din.
Sahabatku…
Sudah semakin jelas dan tegas apa dan bagaimana bentuk kemusryikan yang sesungguhnya. Sesuatu yang teramat penting bagi kehidupan kita, namun sayangnya luput dari kesadaran kebanyakan manusia. Jika sekiranya saat ini kita hidup di tengah-tengah kehidupan negara bangsa dan dunia musryik, yang kafir kepada hukum Allah, lalu apa yang semestinya kita perbuat? Duduk diam dan pasrah terhadap kondisi yang ada atau melakukan teror atau makar kepada penguasa? TIDAK.
Dalam kondisi malam (zhulumat) seperti saat ini hal yang mesti kita selamatkan dan luruskan terlebih dahulu adalah aqidah (keimanan) kita. Minimal menyucikan dan menjaga aqidah (keimanan) kepada Allah didalam qalbu (kesadaran) kita masing-masing. Bagaimanapun , pondasi (dasar) dari bangunan Din al-Islam adalah aqidah (iman) kepada-Nya. Tauhid rububiyah. Tauhid mulkiyah, dan tauhid uluhiyah harus betul-betul suci dalam keimanan diri kita, minimal dalam kesadaran qalbu. Inilah level iman yang terendah yang dapat dilakukan. Hal yang menjadi dasar penilaian dari Allah adalah iman seseorang. Allah tidak akan membebani manusia sesuatu yang belum pantas atau belum saatnya untuk dilaksanakan. Setiap perintah atau hukum Allah selalu terikat ruang dan waktu. Dia tidak akan memaksakan kita untuk melihat matahari di kondisi malam. Memaksakan sesuatu yang bukan pada tempatnya atau memaksakan melakukan sesuatu yang belum pada waktunya hanya akan menimbulkan kerusakan dan kezaliman.
Meskipun kita hidup di tengah-tengah kondisi dan lingkungan masyarakat bangsa yang musyrik, bukan berarti kita harus turut larut dalam kemusyrikan. Ingat! Musyrik itu adalah najis, maka segala ajaran dan pemahaman yang ada di dalamnya adalah sesuatu yang najis dan menajiskan. Sekuat mungkin segala bentuk kemusyrikan yang sudah dijelaskan di atas harus dapat dihindari dan ditinggalkan, khususnya secara aqidah (spiritual). Adapun secara praktik, khususnya dalam hal hukum, semua warga negara harus tunduk pada aturan hukum penguasa atau hukum positif.
Kiranya kesadaran qalbu sahabat sudah tercerahkan oleh tafakkur (renungan) di atas dan membuat mata anda bisa melihat mana kehidupan yang hak (suci) dan mana kehidupan yang batil (najis), dan dapat membedakan antara keimanan dan kemusyrikan. Jauhilah kemusyrikan itu, karena syirik adalah dosa besar yang tidak akan diampuni oleh-Nya. Bersihkan diri anda dari kenajisan ideologi musyrik dan jangan biarkan diri anda menjadi orang-orang tuna spiritual. Waspadalah!
Posting Komentar